Senin, 24 Desember 2012

Serumpun kangkung

Cerpen: Z. Arifin



AWAN tebal menghitam pekat di langit, tinggal menunggu beberapa saat lagi untuk berubah menjadi hujan lebat di seputar danau Kedungmuncar. Gelegar petir membahana berkali-kali, menyenburkan kilatan-kilatan listrik di angkasa. Angin bertiup kencang membawa serta suara gaduh pula.   
          Satu noktah berupa sampan kecil tampak di paksa pengemudinya untuk bergerak lebih cepat, terapung-apung di hamparan air danau Kedung muncar. Mustam, laki-laki setengah umur di atas sampan kecil itu, terus menerus mengumpati Gombloh, anak laki-lakinya yang duduk di belakangyang sejak turun dari bukit tadi sudah takberdaya menahan lelah karena kerja seharian di ladang jagung.
          "Ayo sontoloyo! Bantu bapakmu mendayung Cepat!"
          "Nggak, sudah capek. Salah bapak sendiri kenapa di ajak pulang sejak tadi nggak mau juga," sahut gombloh ketus dan pasrah.
          "Biyangane! Kuceburkan disini mampus kamu!"
          seandainya senja itu tak ada tanda-tanda hujan lebat sebentar lagi bakal turun, tentu Mustam tak perlu merasa terburu-buru, mengayuh dayung sekuat tenaga agar cepat sampai dirumah. Apalagi kalori yang masuk di tubuhnya tidak sebanding dengan kerja keras seharian diladang jagung. Masih harus menyebrangi danau untuk bisa pulang sampai dirumah baru. Itu memang harus dilakukan sejak danau baru itu menggenang lalu memisahkan antara kampung dan ladang mereka beberapa waktu yang lalu. Waktu yang bergerak tanpa kompromi, memang terasa konyol dan kejam bagi Mustam dan Gombloh.
          "Sebentar, bapak. Lihat disana. Disana itu, pak. Serumpun Kangkung. Serumpun kangkung diatas air!" tiba-tiba telunjuk Gombloh mengacung-acung ke arah riak-riak kecil air kecoklatan.
          "Bangsat kamu. Anak kadal kamu! Bantu bapakmu sebelum hujan menghajar kita. Cepat sampai rumah membenahi atap dan kandang-kandang kambing." Mustam marah-marah.
          "Bapak goblok atau pura-pura tak melihat serumpun kangkung itu? Itu lho, pak. Hijau segar dan lebat. Ayo, pak. Kita ambil dulu. Bikin gudangan sama nasi thiwul hangat. Ehmmm....pasti lezat sekali selagi malam datang hujan dan udara dingin Emak pasti senang bikinan kita gudangan kangkung."
          Mustam menoleh mengikuti arah telunjuk Gombloh.
          "Mana? Mana?! Bocah sinting. Anak iblis tukang tipu orang. Kerasukan setan belang mana kamu tadi, hah?!"
          Gombloh sangat kecewa dengan sikap bapaknya. Pikirnya laki-laki itu memang sudah pikun dan rabun. Betapa serumpun kangkung itu tampak begitu jelas di matanya. Meski matahari telah sembunyi di balik bukit dan langit hitam pekat, Gombloh melihat serumpun kangkung itu dari kejauhan beberapa puluh meter, bergerak-gerak perlahan di ayun oleh riak-riak kecil air danau. Serumpun kangkung segar dengan daun-daun lebar menghijau basah dan batangnya yang menjulur ke sana ke mari, sangat mengundang nafsu primitif rasa lapar yang sudah di tahan-tahannya sedari tafi. Tetapi Mustam memang benar.  Tak ada serumpun kangkung disana. Bahkan tak ada apa-apa selain air yang menggenang. Air danau kedung muncar yang semakin hari , semakin meninggi saja.
          Keburu hujan. Basah kuyup tubuh mustam yang bertelanjang dada itu. Caping bambu di kepalanya bahkan dirasa makin merepotkan dirinya untuk mencurahkan perhatian dan sia-sia tenaga buat mengayuh sampan. Caping bambu di lemparnya pada Gombloh.
          "Pegang caping itu erat-erat monyet. Awas jangan sampai terbang . Dasar anak kadal!"
          Nafas mustam memburu, berpacu dengan tusukan-tusukan air hujan yang membrondong tubuhnya tanpa ampun. Di Belakang Gombloh menggigil, mendekap erat-erat caping bambu bapajnya agar tidak digondol angin, agar tidak kena tamparan bapaknya seandainya angin kencang benar-benar tidsk berpihak kepadanya.
          Astaga serumpun kangkung itu masih tetap di lihat Gombloh, si bocah belum ada belasan tahun usianya. Tetapi suara gaduh membabi buta, hujan, air, angin dan petir memang keterlaluan, sehingga tidak mungkin baginya untuk berteriak-teriak, meyakinkan bapaknya sekali lagi. Bahkan ketika sudah sampai darat, lalu berlari-lari memanggul keranjang penuh rumput menu kambing. Bahkan ketika sudah sampai rumah dan terus mengurus dua ekor kambing berikut kandangnya, membatu emak dan bapak membenahi atap rumah, membuang air yang menggenang dibawah meja sambil sesekali mengumpat. menendangi apa saja yang membuat risih di sela caci maki bapaknya sebab kerjanya di anggap kurang beres. Baru setelah kerjanya selesai, sehabis makan, Gombloh kembali mengingat-ingat serumpun kangkung yang di lihatnyatadi. Di balik kehangatan selembar kain sarung lusuh, siapa tahu di alam mimpi serumpun kangkung itu berhasil di bawanya pulang esok hari.
 
.....              
 
          "Hei. monyet. Apa kamu nasib akan berubah dengan sendirinya tanpa kerja? Lihat jagung-jagung ini porak poranda. Kamu cuma duduk-duduk saja sejak tadi. Bantu bapakmu, monyet kecil!"
          Tetapi Gombloh tak menggubris kemarahan bapaknya.
          "Dasar anak kadal. Tulikah kamu? Apa kamu masih ingin main kelereng dengan teman-temanmu yang sudah pergi? Dengar, monyet kecil. Di sini kita kerja. membenahi batang-batang jagung agar bisa hidup lagi. Kamu pikir dengan duduk melamun begitu akan membuat perut kenyang? Bah...! Hujan Keparat! Angin Keparat!"
          Gombloh bangkit dengan lesu. Badai semalam memang keparat. Hampir sepetak jagung itu porak-poranda karenanya. Padahal beberapa hari lagi tinggal menunggu masa berbunga. Akhirnya harus kerja hati-hati dan teliti agar jagung-jagung itu bisa berdiri lagi, menegakan batang-batangnya agar jangan sampai patah dan mati sia-sia. Sudah sejak berangkat tadi semuanya memang harus di lengkapi dengan umpatan. Apalagi tiba-tiba saja emak Gombloh merasa masuk angin setelah tiga hari lalu sakit giginya kambuh. Berdua sejak tiga hari yang lalu Mustam dan Gombloh harus merawat jagung tanpa emak.
          Memulai pagi dengan kerja, masih di bebani rasa jengkel dan marah.
          "Gombloh, tanggul sebelah sana mau ambrol. ambil cangkul dan benahi."
          "Tidak bisa, bapak. tidak kuat."
          "Ayo, dicoba! Naikan dulu tanahnya. Nanti kubantu. Monyet kecil tukang bantah."
          Bagai gerakan cacing malas, Gombloh naik memanggul cangkul. Seekor belalang tak sengaja tiba-tiba menyeruduk hampir mengenai mata kanannya. Belalang sial. Sepagi itu harus menemui ajalnya setelah tangan Gombloh dengan gesit menangkapnya, membantingnya ke tanah. menginjak-nginjaknya, ikut-ikutan jadi tumbal di atas tanah basah kecoklatan bagi tanaman jagung setelah membusuk dan berubah jadi pupuk. Mampus kamu!
          Baru beberapa kali Gombloh mengayunkan cangkulnya. anggota tubuhnya sudah terasa mau patah. Tubuh kecil itu menggeliat. Satu gerakan ajaib pada matanya secara tak sengaja menemukan satu titik di bawah sana, di hamparan air sana. Serumpun kangkung ajaib itu kembali muncul di permukaan air danau.
          "Bapak. bapak! Lihat, bapak! Lihat kangkung yang kulihat kemarin benar-benar ada," tergopoh-gopoh Gombloh melompat-lompat turun, menyeret tangan bapaknya lalu naik ke ketinggian di mana serumpun kangkung itu bisa dilihat dengan jelas.
          "Mana? Mana?! Aku tak melihat apa-apa," Mustam tak sabar.
          "Sungguh, bapak! Lihat di sebelah sana. Persis di atas bekas rumah kita, kampung kita yang dulu!"
          Mustam berusaha keras memicingkan matanya.
          "Kamu monyet kecil pembual. Aku tak melihat apa-apa selain air."
          "Ah, bapak memang sudah rabun!"
          "Betul-betul monyet kamu! Sudah, urus dulu tanggul itu," Mustam turun sembari menahan dongkol.
          "Bapak memang keterlaluan. Denagar, bapak. Dengar kataku. Sebelum kampung kita digenangi air, sebelum kita dipindahkan dulu, aku sempat menanam kangkung di parit sebelah rumah. Lihat kangkung itu sekarang siap di panen. Aku akan memetiknya, bapak."
          "Omong kosong kamu. Tak mungkin ada kangkung disana..... hei, mau kemana kamu, hah?! Bereskan dulu tanggul itu!"
          Tetapi Gombloh terlanjur kabur sembari memungut sabit dan keranjang rumput.
          "Sebentar, bapak. Aku akan segera kembali membereskan tanggul," dengan gesit lelaki kecilnya melompat-lompat turun bukit, naik kesampan dan menerobos air ketengah.
          Gombloh bahkan terlalu yakin bahwa serumpun kangkung yang di lihat itu adalah kangkungnya. kangkung yang telah ditanamnya di pinggir parit sebelah rumah lamanya. waktu itu ia menanamnya sembari mencari belut dengan teman-teman sepermainannya. teman-teman yang kini telah pergi, mencari sekolah baru, mencari kampung baru bersama orang tua mereka. Hanya Gombloh dan orang tuanya beserta beberapa tetangga yang masih tetap bertahan di tanah-tanah yang lebih tinggi di seputar danau Kedungmuncar. Danau yang tiba-tiba menenggelamkan sekolah, tempat bermain kelereng dan bola, menggembalakan kambing, ladang, makam kakek-nenek, seluruh isi kampung.
          Betapa serumpun kangkung yang ditemukan Gombloh itu adalah serumpun kangkung yang telah tumbuh sempurna dengan daun-daun lebat menghijau basah, dengan batang-batang pokok menjulur kebawah permukaan air sana. Maka dengan keyakinan penuh, tiba-tiba Gombloh tak hanya ingin memetik kangkung itu. Ia bahkan ingin melihat-lihat dasar tanah dimana akar kangkung ajaib itu menancap. Maka segeralah ia mencebur ke air, menyelam...menyelam, dan terus menyelam hingga sampai di dasar danau, mengenali satu persatu bekas halamannya....
          Hari telah beranjaksenja. Habis sudah suara Mustam karena sejak tadi berteriak-teriak dan mengumpati Gombloh, anak laki-lakinya yang belum ada belasan tahun usianya. Di bibir danau kedungmuncar itu, Mustam menunggu Gombloh muncul dari dasar danau, mengayuh sampan kecil dengan sekeranjang penuh kangkung lalu mengajak pulang kerumah. Tetapi Gombloh tak muncul-muncul juga. Bahkan ketika hari telah beranjak malam. Bahkan ketika hari telah berganti, satu hari, dua hari, satu minggu, sebulan, dua bulan, tahun....hingga berpuluh-puluh tahun. Tetapi Gombloh belum muncul juga. Dan Mustam tetap saja menunggu. Duduk di bibir danau dengan pandangan kosong tertuju pada hamparan air kecoklatan, entah sampai kapan..........               



Tidak ada komentar:

Posting Komentar